Minggu, 30 Desember 2007

Kamasan, Induk Seni Lukis Wayang Klasik Bali

KAMASAN hanya sebuah desa kecil di Kabupaten Klungkung, Bali. Kategori desa "kecil" antara lain dari wilayah dukungannya yang hanya seluas 249 hektar. Juga penduduknya hanya sekitar 3.400 jiwa yang tersebar dalam 10 banjar adat atau 4 dusun desa pemerintah. Sementara sosok desa kini berwajah sendu meski hanya sekitar empat kilometer selatan Semarapura, ibu kota Kabupaten Klungkung.
KESAKSIAN pekan kedua Agustus lalu mencatat, desa berjarak 42 kilometer timur Denpasar itu tidak lagi menggeliat seperti dulu. Kamasan, yang pernah dikungjungi wisatawan asing hingga berjumlah 4.000 orang per hari, kini sepi. Dengan sendirinya karya seni berupa lukisan wayang kulit, yang sejak lama menjadi kekuatan dan kebanggaan Kamasan, pasarannya ikut sepi. Bahkan, harganya terpaksa dibanting hingga separuhnya.
Sesungguhnya, keganasanpeledakan bom di Bali, 12 Oktober 2002, memang telah menghancurkan pariwisata provinsi ini, termasuk Kamasan. Dengan demikian maklum saja kalau sosok desa ini tiba-tiba menjadi sendu. Namun dibalik itu, Kamasan tetap saja menyimpan daya tarik khasnya yang layak "dipanggungkan". Adalah tidak berlebihan menyebutkan desa kecil itu sebagai induknya seni lukis wayang kulit yang kini berkembang luas di Bali.
Menyebut Kamasan sebagai induk seni lukis wayang kulit Bali, tentu bukan tanpa alasan. Lacak saja melalui sejarah seni lukis Bali. Posisi Kamasan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sejarahnya mencatat, Kamasan turut mewarnai geliat perjalanan seni lukis Bali. Desa ini bahkan dikenal sebagai "gudang"-nya karya seni lukis wayang klasik, hasil torehan para seniman yang adalah warga kampung itu sendiri. Coraknya pun khas hingga tidak sulit memastikan lukisan wayang asal Kamasan.
Masih menurut catatan sejarah, seni lukis wayang (tradisional) ini berkembang di Kamasan dan daerah lain di Bali sejak zaman Kerajaan Majapahit. Antara abad ke-14 hingga abad ke-18, Pulau Bali dikuasai para Dalem, raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan dari Kerajaan Majapahit.
Selama Dinasti Kepakisan memegang tampuk kerajaan, Bali mengalami masa kejayaan. Sejarah mencatat, kekuasaan raja Bali zaman itu pernah meliputi pesisir Jawa Timur, Lombok, bahkan sampai Sumbawa. Salah satu Dalem yang paling dikenal adalah Sri Waturenggong, cucu Sri Kresna Kepakisan. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong ini, seni budaya di Bali mengalami masa pencerahan karena sang raja juga penggemar seni budaya.
Dikisahkan Dalem Waturenggong membangun istananya di Desa Gelgel, yang dikenal sebagai Puri Suwecapura, Istana Karunia. Dari tempat ini, Dalem Waturenggong menata urusan pemerintahan dan keamanan negara. Sementara pada saat yang sama, Kamasan– sebelah utara Gelgel-ditatanya sebagai salah satu pusat kerajaan yang khusus mengurus seni budaya, pendidikan, dan keagamaan. Nama Kamasan dalam prasasti Anak Wungsu yang bertahun Saka 994 (1072 M) berarti benih yang bagus.
POSISI Kamasan dengan peran khusus di waktu silam itu ternyata menjadi benih subur tumbuhnya potensi kesenian terutama seni lukis wayang kulit. Warga sekitarnya seakan terbius untuk mengembangkan bakat seni yang mereka miliki. Selanjutnya "kandungan" Kamasan terus melahirkan seniman. Sebut saja salah satunya kini adalah I Nyoman Mandra (57) yang hasil karyanya pernah dipamerkan sampai ke Bentara Budaya, Jakarta.
Kepala Desa Kamasan Nyoman Sidharta Yoga ketika ditemui di desanya melukiskan, Kamasan dengan urusan khusus di waktu lampau itu, seakan tetap dipertahankan hingga sekarang. Ia mengakui, tiga dari empat dusun di desanya, yakni Dusun Sangging, Dusun Pande Mas, dan Dusun Tabanan, rata-rata warganya adalah seniman termasuk seniman lukis wayang kulit. Kecuali satu dusun lainnya, Dusun Kacang Dawa, yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Monografi Desa Kamasan (Juli 2003) mencatat di tiga dusun dimaksud kini tumbuh tiga jenis industri rumah tangga utama. Selain menggeluti kerajinan lukisan, juga ada kerajinan perak dan emas, industri kerajinan kuningan dan selongsong peluru.
I Nyoman Mandra mengakui, beragam kerajinan terutama seni lukis wayang yang diketahui cukup lama redup, mulai bangkit lagi sekitar tahun 1970-an. Katanya, letusan Gunung Agung tahun 1963 ternyata menjadi peristiwa bersejarah yang antara lain turut membangkitkan seni lukis wayang di Desa Kamasan. Petani beralih menjadi seniman karena sawah dan ladang mereka hancur diterjang lahar Gunung Agung.
Selain untuk kepentingan ritual keagamaan, seperti untuk ider-ider (kain hiasan), kober (bendera), dan lelontekan (panji), lukisan wayang juga digunakan sebagai dekorasi, seperti penghias dinding Bale Gede. Kegunaan ini justru semakin melestarikan seni lukis wayang Kamasan hingga kini. Salah satu bukti yang menunjukkan betapa populernya lukisan wayang Kamasan adalah hiasan langit-langit Taman Gili dan Kertha Gosa, dua bangunan dari zaman Kerajaan Semarapura. Kedua bangunan kuno itu kini menjadi salah satu obyek wisata andalan Klungkung.
Gaya lukisan wayang Kamasan memang unik hingga mampu menarik minat turis berkunjung ke desa tersebut. Spies dan Bonnet, dua maestro seni lukis yang sangat berpengaruh dalam perjalanan seni lukis di Bali, pernah mondok di Kamasan. Bahkan, Spies meninggalkan seperangkat gamelan selendro untuk masyarakat Kamasan. "Masyarakat di sini tidak mengenal nama Spies, tapi Mister Tepis," kata Sidharta sambil tertawa.
SEIRING terpuruknya pariwisata Bali akibat tragedi bom 12 Oktober tahun lalu, Kamasan pun tidak luput terkena imbasnya. "Saat ini mungkin sekitar sepuluhan seniman lukis yang masih bertahan, atau mungkin sudah kurang. Ada yang sudah beralih profesi," ujar I Nyoman Mandra, pendiri Sanggar Lukis Tradisional Wayang Kamasan, dengan nada pelan. Kerutan di dahinya semakin jelas terlihat. Padahal, di monografi desa itu masih tercatat 40 seniman lukis yang tersebar di tiga dusun desa itu.
Diakui ada yang tetap bertahan sebagai seniman. Namun, tidak sedikit di antaranya sudah bekerja serabutan demi periuk nasi keluarga. "Kondisi seperti ini sudah berlangsung hampir dua tahun, sejak kejadian WTC (World Trade Center) tahun 2001 itu. Lalu Kamasan semakin terpukul lagi menyusul bom Bali," tutur Mandra.
Sebelum tragedi tersebut, booming pariwisata di Bali antara lain dinikmati para penoreh tradisi ini. Peningkatan kunjungan wisatawan ke provinsi ini dalam dua dekade turut meningkatkan kehidupan ekonomi seniman Kamasan.
"Dulu, setiap tahun ada tiga kali kunjungan tamu-tamu grup kemari, biasanya dari Eropa dan Amerika. Satu grup, paling sedikit 20 orang. Sekarang, lima orang saja sudah cukup," tutur Mandra. Meredupnya seni lukis Kamasan kini antara lain dari berlembar-lembar lukisan wayang beragam ukuran yang terlihat kotor berbalut debu di tempat pajangannya. Itu pertanda pasarannya sepi.
"Kami terpaksa jual murah. Dalam kondisi normal, sebuah lukisan tertentu biasanya kami jual Rp 200.000, sekarang cukup Rp 100.000. Orang-orang yang punya duit kini lebih mengutamakan pengeluaran yang pokok-pokok dulu, untuk lukisan bisa belakangan," ujar Mandra. Contoh lainnya, selembar lukisan wayang berukuran 80 x 150 sentimeter dengan bahan pewarna tradisional, dijual Rp 2,5 juta atau hanya separuh dari harga sebelumnya.
Meskipun demikian, Mandra tetap mengakui, seni lukis wayang kulit adalah tradisi kebanggaan Kamasan. "Karena itu kami, termasuk saya, tetap pertahankan tradisi ini, terus melukis," tegas Mandra. (COK)

1 komentar:

Ayumi Galuh mengatakan...

Nice Blog...

Visit: http://www.tanahlot.net